وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖفَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖوَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
"Bagi setiap orang ajal. Maka apabila datang ajal mereka, tak dapat mereka menunda walau sesaat dan tak dapat mempercepatnya".
Ajal itu rahasia Allah. Tapi orang-orang yang jernih jiwanya dan tajam panggraitanya seringkali mampu menangkap tanda-tanda mendekatnya ajal, kemudian mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Bahwa tidak ada yang mampu mengetahui dengan tepat kapan saat tiba ajalnya, memang begitu "aturan mainnya". Namanya juga rahasia...
Menjelang Muktamar NU ke-28, 1989, Mbah Kyai Abdul Hamid Kajoran sakit keras. Gus Dur ditemani Mbah Lim (Kyai Muslim Rifai Imampuro rahimahullah), menengok.
"Aku tak mati yo, 'Lim..." (Aku mau mati nih, Lim), Mbah Hamid berkata lirih di pembaringannya.
Mbah Lim menggeleng keras,
"Nggak bisa... nggak bisa... nggak bisa...!" gayanya khas, "Mau muktamar kok mati... Enak saja.... Nggak bisa!"
"Lha terus gimana...?"
"Mati ya mati, tapi nanti saja. Nunggu muktamar dulu!"
Mbah Hamid wafat beberapa waktu sesudah Muktamar.
Mbah Wahab Hasbullah malah sudah beberapa lama tak mampu bangkit dari pembaringan hingga mendekati waktu pelaksanaan Muktamar ke-25, 1969. Beliau pun menyuruh santri-santri berkumpul mengitari dipan tempat beliau berbaring.
"Bacalah Yasin sebanyak-banyaknya...", beliau memerintah dengan suara lemah, "tapi kalau nanti kuberi tanda, berhentilah... supaya aku bisa membaca syahadat dengan tenang..."
Para santri mengaji dengan berlinangan air mata. Bacaan mereka jadi kurang lancar karena bercampur tangis sesenggukan.
Ketika beberapa jurus kemudian Mbah Wahab tiba-tiba mengangkat tangan, santri-santri malah menjerit dalam raungan sedih yang menyayat. Sampai kemudian seseorang dengan susah-payah berhasil menyuruh mereka tenang karena Mbah Wahab tampak ingin mengatakan sesuatu.
"Nggak jadi", kata Mbah Wahab, "Aku sudah ketemu Izrail.... Nanti saja, sesudah Muktamar..."
Beberapa hari sesudah Mukatamar ke-25 itu, Mbah Wahab wafat.(teronggosong)
Menjelang Muktamar NU ke-28, 1989, Mbah Kyai Abdul Hamid Kajoran sakit keras. Gus Dur ditemani Mbah Lim (Kyai Muslim Rifai Imampuro rahimahullah), menengok.
"Aku tak mati yo, 'Lim..." (Aku mau mati nih, Lim), Mbah Hamid berkata lirih di pembaringannya.
Mbah Lim menggeleng keras,
"Nggak bisa... nggak bisa... nggak bisa...!" gayanya khas, "Mau muktamar kok mati... Enak saja.... Nggak bisa!"
"Lha terus gimana...?"
"Mati ya mati, tapi nanti saja. Nunggu muktamar dulu!"
Mbah Hamid wafat beberapa waktu sesudah Muktamar.
Mbah Wahab Hasbullah malah sudah beberapa lama tak mampu bangkit dari pembaringan hingga mendekati waktu pelaksanaan Muktamar ke-25, 1969. Beliau pun menyuruh santri-santri berkumpul mengitari dipan tempat beliau berbaring.
"Bacalah Yasin sebanyak-banyaknya...", beliau memerintah dengan suara lemah, "tapi kalau nanti kuberi tanda, berhentilah... supaya aku bisa membaca syahadat dengan tenang..."
Para santri mengaji dengan berlinangan air mata. Bacaan mereka jadi kurang lancar karena bercampur tangis sesenggukan.
Ketika beberapa jurus kemudian Mbah Wahab tiba-tiba mengangkat tangan, santri-santri malah menjerit dalam raungan sedih yang menyayat. Sampai kemudian seseorang dengan susah-payah berhasil menyuruh mereka tenang karena Mbah Wahab tampak ingin mengatakan sesuatu.
"Nggak jadi", kata Mbah Wahab, "Aku sudah ketemu Izrail.... Nanti saja, sesudah Muktamar..."
Beberapa hari sesudah Mukatamar ke-25 itu, Mbah Wahab wafat.(teronggosong)