Foto: nahdlatululama.id |
RamahNUsantara, Jakarta - Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan/tingkatan yang akan dilalui oleh seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal Allah. Perjalanan panjang menuju tujuan tersebut disebut dengan ‘suluk’.
Maqamat tersebut menurut al-Ghazali adalah: Taubat → Sabar → Fakir → Zuhud (tidak cinta dunia secara berlebihan) → Tawakkal → Mahabbah (cinta) → Makrifat → Ridla.
Sedangkan menurut ath-Thusi adalah: Taubat → Wara’ (menjauhi syubhat dab haram) → Zuhud → Fakir → Sabar → Ridla → Tawakkal → Makrifat.
Jenjang Tasawuf menurut al-Kalabadzi adalah: Taubat → Zuhud → Sabar → Fakir → Tawadlu’ → Takwa → Tawakkal → Ridla → Mahabbah (cinta) → Makrifat.
Dan dalam metode Syaikh al-Qusyairi adalah: Taubat → Wara’ → Zuhud → Tawakkal → Ridla.
Suluk tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ g إِنَّ اللهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ (رواه البخارى 6502)
“Sesungguhnya Allah berfirman (HadisQudsi): Barangsiapa yang memusuhi seorang wali maka Aku mengizinkan ber-perang. Tidak ada yang seorang hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya, langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi” (HR al-Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ الطُّوفِيُّ: هَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌفِي السُّلُوكِ إِلَى اللهِ وَالْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَرِيقِهِ، إِذْ الْمُفْتَرَضَاتُ الْبَاطِنَةُ وَهِيَ الْإِيمَان وَالظَّاهِرَة وَهِيَ الْإِسْلَامُ وَالْمُرَكَّبُ مِنْهُمَا وَهُوَ الْإِحْسَانُ فِيهِمَا كَمَا تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ جِبْرِيلَ، وَالْإِحْسَانُ يَتَضَمَّنُ مَقَامَاتِ السَّالِكِينَ مِنْ الزُّهْدِ وَالْإِخْلَاصِ وَالْمُرَاقَبَةِ وَغَيْرِهَا، وَفِي الْحَدِيثِ أَيْضًا أَنَّ مَنْ أَتَى بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَتَقَرَّبَ بِالنَّوَافِلِ لَمْ يُرَدَّ دُعَاؤُهُ لِوُجُوْدِ هَذَا الْوَعْدِ الصَّادِقِ الْمُؤَكَّدِ بِالْقَسَمِ (فتح الباري لابن حجر - ج 18 / ص 342)
“Ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan suluk (tahapan/jenjang) menuju Allah dan sampai pada makrifat (mengenal) Allah dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban batin seperti iman, dan kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari keduanya, yaitu Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam kisah Malaikat Jibril. Sementara Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang dilalui oleh pelaksana, seperti zuhud, ikhlas, diawasi oleh Allah dan lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakukan ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah sunah donya tidak akan ditolak, sebab telah ada janji yang dikuatkan dengan sumpah” (Fathul Bari 18/342)
Sedangkan subtansi ajaran dalam Tasawuf adalah membersihkan hati dari akhlak yang buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا [الشمس/7-10]
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”(Asy-Syams 7-10)
Penulis:
KH. Ma'ruf Khozin
(Pengasuh Aswaja Center Jawa Timur)