Foto: RamahNUsantara (7/10/17) |
RamahNUsantara, Jakarta - Ada yang bilang, "Tidak ada Islam Radikal, yang ada Komunis Radikal", memang benar.
Maka kiranya perlu persepsi yang sama tentang pemahaman radikal.
Radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula.
Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.
Berangkat dari pemahaman dan ideologi seorang yang bernama Abdullah bin Muljam (Ibnu Muljam), pada tahun 40 H.yang telah membunuh Sayyidina Ali, mantu, sepupu nabi Muhammad saw dan khulafaursyidin ke empat, setelah sayidina Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khotob dan Ustman bin Afwan.
Ia, (Ibnu Muljam) orang yang hafal Al-Quran (haafidzul quran), rajin berpuasa (shaaimun nahaar) dan shalat malam (qaaimullail). Kategori masuk orang yang ahli ibadah, rajin "mepeng" ibadahnya dan sholeh "secara pribadi".
Hanya karena berpemahaman politik yang berbeda, tidak menerima kebijakkan pemimpin pada masa itu, dan memahami Al-Qur’an secara-literer, tekstual, skriptual dan sempit.
Iapun melakukan pembunuhan terhadap sang pintu gerbang ilmu (baabul 'ilm).
Golongan anak muda yang pertama kali masuk Islam (asaabiqunal awwalun).
Dan salah satu sahabat yang dijamin masuk syurga oleh Rasulullah (almubasyyarah bil jannah).
Sejalan dengan sejarah diatas muncullah golongan, kelompok yang mengatasnamakan Islam.
Dan lanjut, perjalanan sejarah perbedaan paham dalam beragama, dan perbedaan politik dalam konteks bernegara, (NKRI), muncul aliran kelompok yang berbeda beda, baik ideologi agama maupun "aliran" politik.
Ada aliran neo-komunisme yang radikal, sebagai antitesis dari kapitalisme global.
Ada aliran yang mengatasnamakan Islam, yang ingin ada formalisasi syariat Islam, yang marak dengan demo UU ormas.
Ada yang berpaham moderat, menerima demokrasi sebagai sistem negara, tetapi tidak berpegang teguh pada nilai-nilai agama, hukum dan moral.
Ada juga yang berpaham moderat, menerima demokrasi dan berpegang teguh dengan nilai - nilai agama sebagai implementasi "iman", taat hukum dan menjaga moralitas agama.
Dan yang terakhir inilah, yang sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 45, sesuai pula dengan piagam madinah.
Finalnya adalah perbedaan pilihan yang tidak sama seleranya, dan beragama yang tidak sama rasanya, melahirkan kelompok baru.
Bisa atas nama Islam "oknum" radikal, komunis radikal, maupun yang tetap nasional.
Nasionalis, yakni, "moderat, menerima demokrasi dan berpegang teguh pada ajaran agama tidak korup sebagai implementasi "iman", taat hukum dan menjaga moralitas keharmonisan antar umat manusia"
Penulis:
Syarif Cakhyono
(Ketua LTN NU Jakarta Timur)