Peserta di Auditorium PTIK (19/9/17) (Foto: Netizen/ Ponpesariwani) |
RamahNUsantara, Jakarta - Bertempat di Auditorium PTIK, Jakarta Selatan (19/9), Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian, Ph.D memberikan kuliah umum tentang ancaman radikalisme dan terorisme, dihadapan 1.000 mahasiswa yang terdiri dari 30 perguruan tinggi serta peserta dari lima lembaga pendidikan pengembangan Polri dan lima lembaga pendidikan kedinasan instansi negara.
Kapolri menyampaikan bahwa perkembangan terorisme di Indonesia saat ini merupakan gelombang kedua perkembangan teror, yang ditandai dengan berubahnya idelogi dari salafi jihadi menjadi ideologi Takhfiri, serta munculnya lone wolf dan leaderless jihad, sebagai dampak permasalahan konflik yang berada di Timur Tengah, yang diterima tumpahannya sampai ke Indonesia dan negara-negara lain di regional Asia Tenggara, seperti di Marawi dan di Myanmar, yang merupakan fenomena global yang perlu ditangani secara komprehensif dan hati-hati agar tidak menimbulkan rasa solidaritas yang masif dan akan mempersulit penanggulanngannya.
Metode yang paling baik adalah dengan penggunaan soft approach, melalui lima langkah, yaitu yang pertama adalah kontra radikalisasi, kedua : pelibatan mahasiswa dan elemen negara lainnya dalam proses deradikalisasi, yang ketiga adalah meluruskan ideologi jihad agar tidak banyak masyarakat yang terpengaruh ideologi ini, selanjutnya adalah menetralisir media yang menyebarkan berita-berita bohong atau fake news dan yang terakhir adalah menetralisir situasi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya radikalisasi.
Penggunaan kekuatan yang terukur juga diperlukan, dengan didukung analisis intelijen yang kuat, scientific criminal investigation untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi tanpa perlu penggunaan kekerasan, kolaborasi dengan satuan - satuan TNI untuk menghadapi segala macam pertempuran baik urban war maupun jungle warfare, semua upaya ini perlu landasan hukum yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk bertindak lebih flexible melalui revisi Undang-undang teror. (*)
Metode yang paling baik adalah dengan penggunaan soft approach, melalui lima langkah, yaitu yang pertama adalah kontra radikalisasi, kedua : pelibatan mahasiswa dan elemen negara lainnya dalam proses deradikalisasi, yang ketiga adalah meluruskan ideologi jihad agar tidak banyak masyarakat yang terpengaruh ideologi ini, selanjutnya adalah menetralisir media yang menyebarkan berita-berita bohong atau fake news dan yang terakhir adalah menetralisir situasi yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya radikalisasi.
Penggunaan kekuatan yang terukur juga diperlukan, dengan didukung analisis intelijen yang kuat, scientific criminal investigation untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi tanpa perlu penggunaan kekerasan, kolaborasi dengan satuan - satuan TNI untuk menghadapi segala macam pertempuran baik urban war maupun jungle warfare, semua upaya ini perlu landasan hukum yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk bertindak lebih flexible melalui revisi Undang-undang teror. (*)