BAGI pelakunya, tindakan apa pun, entah itu baik atau buruk, mesti memiliki rasionalitas tersendiri mengapa hal itu dilakukan?
Setiap orang ingin mencari pembenaran terhadap apa yang dilakukan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Contoh yang terdengar ekstrem adalah pengakuan seorang pelacur. Dia merasa terpaksa melakukannya karena sudah putus asa, tidak mampu mencari penghasilan lain, sementara dia mesti membiayai pendidikan anaknya yang tinggal di kampung bersama neneknya.
Dia ingin agar anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar dan saleh, rajin sembahyang danmengaji,jangan sampai bergelimang dosa seperti dirinya. Ibunya mencari nafkah dengan melacur sembari berharap (dan yakin) semoga dosa-dosa yang dilakukannya akan diringankan timbangannya di akhirat kelak oleh kesalehan anaknya.
Cerita di atas adalah contoh sederhana tentang rasionalitas sebuah tindakan. Bahwa setiap tindakan pasti ada upaya penjelasan dan pembenaran dari pelakunya sehingga yang bersangkutan merasa damai dengan dirinya sendiri meski yang bersangkutan tahu dan sadar bahwa tindakannya melawan norma susila, hukum, dan agama.
Dalam wacana normatif keagamaan,tentu saja sangat mudah membuat kategori dan penghakiman hitam-putih, antara halal dan haram, baik dan buruk, benar dan salah. Demikian juga halnya dengan tindakan korupsi. Dari sudut pandang hukum, korupsi, sebagaimana juga mencuri,adalah mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya sehingga merugikan pihak lain.
Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa orang yang sudah berkecukupan, bahkan kaya secara materi, masih juga mau melakukankorupsi? Mengapa korupsi yang jelas dan tegas dilarang agama dan pelakunya sangat sadar dan paham akan larangan itu masih juga dilakukan? Pertanyaan ini bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang, tapi tulisan ini membatasi untuk mengulasnya dari sisi psikologis.
Sangat Fluktuatif
Setiap orang sangat potensial tergoda dan terpeleset untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh nalar sehat dan agama. Kondisi kejiwaan manusia sungguh sangat rapuh dan fluktuatif, selalu bergelombang naik dan turun, secara permanen. Itulah yang dalam bahasa Inggris disebut e-motion dan dalam bahasa Arab disebut qalbu.
Maknanya sama, yaitu energi batin yang selalu bergerak (motion) dan pendulumnya bergerak ke sanake mari (qalbu). Sedemikian peka dan sangat mudahnya terpengaruh sehingga suasana kejiwaan seseorang dari waktu ke waktu cepat sekali berubah mengingat di mana pun dan kapan pun berada selalu dihadapkan pada situasi dan stimulus yang mesti direspons, sadar ataupun tidak sadar.
Coba saja amati dan catat perubahan emosi Anda dari pagi bangun tidur sampai hendak tidur,apakah Anda lebih banyak merasa senang dan bahagia ataukah sebaliknya? Bahkan ketika membaca tulisan ini pun emosi Anda terpengaruh. Ketika berada di tengah keramaian, ada yang merasa tidak senang dengan alasan bising.
Ketika dalam suasana sepi, ada yang mengeluh karena kesepian. Mereka yang kaya berlimpah harta, bingung dan gelisah karena kekayaannya. Sebaliknya, yang miskin selalu mengeluh karena kemiskinannya. Yang memiliki jabatan tinggi selalu dibayangi kecemasan menghadapi saat berakhirnya kekuasaan yang digenggamnya.
Yang masih di bawahnya, hati penasaran ingin sekali merasakan posisi di atasnya lagi. Lalu, saat ajal tiba, sederet daftar keinginan masih melekat di hati, tapi jatah usia sudah habis. Demikianlah, kita semua dilengkapi pikiran untuk merancang skema hidup yang lurus dan benar, lalu hati dan emosi sebagai motor penggerak, dan tangan (hand) untuk melaksanakan keputusan head dan dorongan heart.
Problemnya, ketiga komponen utama tadi tidak selalu sinkron dalam menopang kehidupan ini.Komponen hati yang memiliki nafsu, keinginan, dan selalu mengejar kesenangan (pleasure) sering jalan sendiri, tidak mau mendengarkan perintah dan peringatan nalar sehat.
Tindakan nekat tanpa pertimbangan nalar dan moral mudah sekali diamati pada mereka yang sudah kecanduan narkoba, minuman keras, dan sejenisnya semisal rokok. Jika ditanya secara rasional, semuanya pasti menjawab kebiasaan itu jelek, merusak hidup, serta merepotkan keluarga dan masyarakat.
Namun dia tak sanggup menolak dan mengendalikan emosinya yang sudah termanjakan oleh kesenangan sesaat yang telah menjajah jiwanya. Mari kembali pada persoalan korupsi.Mengapa mereka masih juga melakukan korupsi,padahal pendidikannya tinggi, tahu adanya Undang-Undang Antikorupsi, harta sudah berkecukupan, jabatan cukup tinggi,juga mengaku taat menjalakan ritual beragama?
Jiwa yang Sakit dan Miskin
Tindakan seseorang selalu didorong dan distimulasi oleh harapan dan kalkulasi yang menguntungkan serta menyenangkan meski secara sosial bisa saja terkutuk. Secara sosial-psikologis, lembaga perkawinan, misalnya, merupakan solusi untuk mendamaikan konflik antara nafsu pribadi dan norma sosial di mana dorongan seksual yang pada dasarnya hanya mengejar pleasure mesti takluk di hadapan etika sosial agar ketenteraman masyarakat terjaga dan garis keturunan seseorang menjadi jelas.
Nafsu seks dan nafsu untuk menumpuk harta memiliki kemiripan.Yang dikejar adalah kesenangan dan kepuasan emosional-materialyangtidak mengenal batas dan sering merusak norma sosial dan agama.
Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan jiwa sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata (for the sake of pleasure),sesungguhnya dia terjebak hidupnya pada level hewani (animality), gagal menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity) sebagai pemimpin (leader) dalam kehidupannya.
Pribadi yang demikian itu, meski lahiriahnya kaya, sesungguhnya jiwanya miskin. Meski pendidikan dan jabatan tinggi, orientasi hidupnya rendah. Meski tampaknya gagah dan energik, jiwanya sakit.Jadi,orang yang senang melakukan korupsi jiwanya sakit, tidak sanggup menaikkan kualitas dan komitmen hidupnya pada level lebih tinggi, yaitu pada tataran humanity yang ditandai dengan sikap selalu mengutamakan nalar sehat dan setia pada bisikan nurani.
Bagaimana membuat jiwa sehat dan selalu setia pada nalar sehat dan nilai-nilai moral? Banyak jalan mesti ditempuh. Pertama, faktor pendidikan dan pembiasaan keluarga sejak kecil sangat signifikan pengaruhnya pada perkembangan pribadi setiap orang.
Keluarga dan pendidikan sekolah yang selalu membiasakan dan menghargai kejujuran sehingga anak akan merasa salah dan jiwanya tersiksa kalau tidak jujur, lama-kelamaan akan membentuk pribadi jujur.Ketika berbuat curang, rasanya tidak enak dan tidak percaya diri sebagaimana berangkat sekolah tidak mandi dan gosok gigi.
Kedua, sejak dini tanamkan nilai,pengertian dan contoh nyata orang-orang sukses berkat ilmu, kerja keras, dan integritas.Bahwa peradaban ini dibangun oleh mereka yang memiliki integritas, sementara para koruptor biasanya justru malah menghancurkannya. Ketiga, tanamkan pada anak-anak sembari diberi pengertian bahwa korupsi itu hanya untuk memenuhi nafsu pribadi yang bersifat sesaat, tapi ujungnya akan merugikan diri dan orang lain.
Bayangkan, mereka yang korupsi waktu di jalan, ketika lampu masih merah atau kuning lalu seseorang menyerobot masuk, sesungguhnya orang itu telah mengambil hak orang lain dan akibatnya sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Keempat, secara psikologis tindakan yang masuk kategori dosa umumnya merupakan akibat dari tindakan yang mengejar kenikmatan sesaat, tapi merusak investasi kebaikan yang lebih besar di masa depan.
Kelima,korupsi selalu merupakan pelanggaran sosial dan dampak kerusakannya juga bersifat sosial-horizontal sehingga penyelesaian dan pertobatannya juga berdimensi sosial, tidak selesai dengan meloncat berupa penyelesaian vertikal, misalnya dengan melakukan umrah atau haji. Dosa kemanusiaan mesti ditebus dengan pertobatan kemanusiaan.
Oleh karena itu, fakta sosial menunjukkan, sebuah negara meskipun sekuler, tidak beragama, jika pendidikan dan ekonominya bagus serta hukum ditegakkan, lebih sanggup mengurangi korupsi ketimbang masyarakat yang agamais,tapi miskin komitmen sosial dan kemanusiaan. Rasanya pantas kasihan melihat orang yang lahiriahnya kaya,pintar,dan jabatannya tinggi, tetapi ternyata jiwanya miskin dan orientasi hidupnya rendah.
( Prof. Dr. Komaruddin Hidayat )
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 16 Januari 2009
Setiap orang ingin mencari pembenaran terhadap apa yang dilakukan dan berdamai dengan dirinya sendiri. Contoh yang terdengar ekstrem adalah pengakuan seorang pelacur. Dia merasa terpaksa melakukannya karena sudah putus asa, tidak mampu mencari penghasilan lain, sementara dia mesti membiayai pendidikan anaknya yang tinggal di kampung bersama neneknya.
Dia ingin agar anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar dan saleh, rajin sembahyang danmengaji,jangan sampai bergelimang dosa seperti dirinya. Ibunya mencari nafkah dengan melacur sembari berharap (dan yakin) semoga dosa-dosa yang dilakukannya akan diringankan timbangannya di akhirat kelak oleh kesalehan anaknya.
Cerita di atas adalah contoh sederhana tentang rasionalitas sebuah tindakan. Bahwa setiap tindakan pasti ada upaya penjelasan dan pembenaran dari pelakunya sehingga yang bersangkutan merasa damai dengan dirinya sendiri meski yang bersangkutan tahu dan sadar bahwa tindakannya melawan norma susila, hukum, dan agama.
Dalam wacana normatif keagamaan,tentu saja sangat mudah membuat kategori dan penghakiman hitam-putih, antara halal dan haram, baik dan buruk, benar dan salah. Demikian juga halnya dengan tindakan korupsi. Dari sudut pandang hukum, korupsi, sebagaimana juga mencuri,adalah mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya sehingga merugikan pihak lain.
Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa orang yang sudah berkecukupan, bahkan kaya secara materi, masih juga mau melakukankorupsi? Mengapa korupsi yang jelas dan tegas dilarang agama dan pelakunya sangat sadar dan paham akan larangan itu masih juga dilakukan? Pertanyaan ini bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang, tapi tulisan ini membatasi untuk mengulasnya dari sisi psikologis.
Sangat Fluktuatif
Setiap orang sangat potensial tergoda dan terpeleset untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh nalar sehat dan agama. Kondisi kejiwaan manusia sungguh sangat rapuh dan fluktuatif, selalu bergelombang naik dan turun, secara permanen. Itulah yang dalam bahasa Inggris disebut e-motion dan dalam bahasa Arab disebut qalbu.
Maknanya sama, yaitu energi batin yang selalu bergerak (motion) dan pendulumnya bergerak ke sanake mari (qalbu). Sedemikian peka dan sangat mudahnya terpengaruh sehingga suasana kejiwaan seseorang dari waktu ke waktu cepat sekali berubah mengingat di mana pun dan kapan pun berada selalu dihadapkan pada situasi dan stimulus yang mesti direspons, sadar ataupun tidak sadar.
Coba saja amati dan catat perubahan emosi Anda dari pagi bangun tidur sampai hendak tidur,apakah Anda lebih banyak merasa senang dan bahagia ataukah sebaliknya? Bahkan ketika membaca tulisan ini pun emosi Anda terpengaruh. Ketika berada di tengah keramaian, ada yang merasa tidak senang dengan alasan bising.
Ketika dalam suasana sepi, ada yang mengeluh karena kesepian. Mereka yang kaya berlimpah harta, bingung dan gelisah karena kekayaannya. Sebaliknya, yang miskin selalu mengeluh karena kemiskinannya. Yang memiliki jabatan tinggi selalu dibayangi kecemasan menghadapi saat berakhirnya kekuasaan yang digenggamnya.
Yang masih di bawahnya, hati penasaran ingin sekali merasakan posisi di atasnya lagi. Lalu, saat ajal tiba, sederet daftar keinginan masih melekat di hati, tapi jatah usia sudah habis. Demikianlah, kita semua dilengkapi pikiran untuk merancang skema hidup yang lurus dan benar, lalu hati dan emosi sebagai motor penggerak, dan tangan (hand) untuk melaksanakan keputusan head dan dorongan heart.
Problemnya, ketiga komponen utama tadi tidak selalu sinkron dalam menopang kehidupan ini.Komponen hati yang memiliki nafsu, keinginan, dan selalu mengejar kesenangan (pleasure) sering jalan sendiri, tidak mau mendengarkan perintah dan peringatan nalar sehat.
Tindakan nekat tanpa pertimbangan nalar dan moral mudah sekali diamati pada mereka yang sudah kecanduan narkoba, minuman keras, dan sejenisnya semisal rokok. Jika ditanya secara rasional, semuanya pasti menjawab kebiasaan itu jelek, merusak hidup, serta merepotkan keluarga dan masyarakat.
Namun dia tak sanggup menolak dan mengendalikan emosinya yang sudah termanjakan oleh kesenangan sesaat yang telah menjajah jiwanya. Mari kembali pada persoalan korupsi.Mengapa mereka masih juga melakukan korupsi,padahal pendidikannya tinggi, tahu adanya Undang-Undang Antikorupsi, harta sudah berkecukupan, jabatan cukup tinggi,juga mengaku taat menjalakan ritual beragama?
Jiwa yang Sakit dan Miskin
Tindakan seseorang selalu didorong dan distimulasi oleh harapan dan kalkulasi yang menguntungkan serta menyenangkan meski secara sosial bisa saja terkutuk. Secara sosial-psikologis, lembaga perkawinan, misalnya, merupakan solusi untuk mendamaikan konflik antara nafsu pribadi dan norma sosial di mana dorongan seksual yang pada dasarnya hanya mengejar pleasure mesti takluk di hadapan etika sosial agar ketenteraman masyarakat terjaga dan garis keturunan seseorang menjadi jelas.
Nafsu seks dan nafsu untuk menumpuk harta memiliki kemiripan.Yang dikejar adalah kesenangan dan kepuasan emosional-materialyangtidak mengenal batas dan sering merusak norma sosial dan agama.
Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan jiwa sehingga dirinya lebih didominasi oleh dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan semata (for the sake of pleasure),sesungguhnya dia terjebak hidupnya pada level hewani (animality), gagal menjadikan nilai dan kualitas insani (humanity) sebagai pemimpin (leader) dalam kehidupannya.
Pribadi yang demikian itu, meski lahiriahnya kaya, sesungguhnya jiwanya miskin. Meski pendidikan dan jabatan tinggi, orientasi hidupnya rendah. Meski tampaknya gagah dan energik, jiwanya sakit.Jadi,orang yang senang melakukan korupsi jiwanya sakit, tidak sanggup menaikkan kualitas dan komitmen hidupnya pada level lebih tinggi, yaitu pada tataran humanity yang ditandai dengan sikap selalu mengutamakan nalar sehat dan setia pada bisikan nurani.
Bagaimana membuat jiwa sehat dan selalu setia pada nalar sehat dan nilai-nilai moral? Banyak jalan mesti ditempuh. Pertama, faktor pendidikan dan pembiasaan keluarga sejak kecil sangat signifikan pengaruhnya pada perkembangan pribadi setiap orang.
Keluarga dan pendidikan sekolah yang selalu membiasakan dan menghargai kejujuran sehingga anak akan merasa salah dan jiwanya tersiksa kalau tidak jujur, lama-kelamaan akan membentuk pribadi jujur.Ketika berbuat curang, rasanya tidak enak dan tidak percaya diri sebagaimana berangkat sekolah tidak mandi dan gosok gigi.
Kedua, sejak dini tanamkan nilai,pengertian dan contoh nyata orang-orang sukses berkat ilmu, kerja keras, dan integritas.Bahwa peradaban ini dibangun oleh mereka yang memiliki integritas, sementara para koruptor biasanya justru malah menghancurkannya. Ketiga, tanamkan pada anak-anak sembari diberi pengertian bahwa korupsi itu hanya untuk memenuhi nafsu pribadi yang bersifat sesaat, tapi ujungnya akan merugikan diri dan orang lain.
Bayangkan, mereka yang korupsi waktu di jalan, ketika lampu masih merah atau kuning lalu seseorang menyerobot masuk, sesungguhnya orang itu telah mengambil hak orang lain dan akibatnya sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Keempat, secara psikologis tindakan yang masuk kategori dosa umumnya merupakan akibat dari tindakan yang mengejar kenikmatan sesaat, tapi merusak investasi kebaikan yang lebih besar di masa depan.
Kelima,korupsi selalu merupakan pelanggaran sosial dan dampak kerusakannya juga bersifat sosial-horizontal sehingga penyelesaian dan pertobatannya juga berdimensi sosial, tidak selesai dengan meloncat berupa penyelesaian vertikal, misalnya dengan melakukan umrah atau haji. Dosa kemanusiaan mesti ditebus dengan pertobatan kemanusiaan.
Oleh karena itu, fakta sosial menunjukkan, sebuah negara meskipun sekuler, tidak beragama, jika pendidikan dan ekonominya bagus serta hukum ditegakkan, lebih sanggup mengurangi korupsi ketimbang masyarakat yang agamais,tapi miskin komitmen sosial dan kemanusiaan. Rasanya pantas kasihan melihat orang yang lahiriahnya kaya,pintar,dan jabatannya tinggi, tetapi ternyata jiwanya miskin dan orientasi hidupnya rendah.
( Prof. Dr. Komaruddin Hidayat )
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 16 Januari 2009