Mukhabarah dan Muzara'ah, keduanya adalah bentuk usaha paroan sawah atau ladang.
Mukhabarah ialah suatu aqad yang terjadi antara pemilik tanah dan pengelola tanah untuk digarap dengan ketentuan bahwa benih yang akan ditanam adalah dari penggarap tanah tersebut.
Muzara'ah ialah suatu aqad yang terjadi antara pemilik tanah dan pengelola tanah untuk digarap dengan ketentuan bahwa benih yang akan ditanam adalah dari pemilik tanah tersebut.
Hukum keduanya oleh sebagian ulama diperbolehkan, dengan dasar hadits Rasulullah SAW berikut :
Dari Abu Umar, sesungguhnya Nabi SAW telah menyerahkan tanah kepada penduduk khaibar agar ditanami/dipelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari hasil kebun tersebut, baik berupa buah-buahan mauoun hasil tanaman lainnya." (HR. Muslim).
Sebagian ulama yang lain melarang paroan sawah atau ladang ini dengan alasan sebagai berikut :
Dari Rafi' bin Khadij, ia berkata, di antara kaum Anshar yang paling banyak memiliki tanah adalah kami, maka kami sewakan sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian." (HR. Al-Bukhari).
Hadits yang melarang paroan sawah/ladang maksudnya jika ditentukan pernghasilan dan sebagian tanah mesti kepunyaan di antara pemilik tanah dan penggarapnya. Pada masa lampau paroan sawah/ladang ini sering terjadi adanya persyaratan di antara mereka mengambil sawah/ladang yang lebih subur. Hal semacam inilah yang dilarang oleh hadits, karena akan merugikan salah satu pihak.
Adapun pembagian hasil mukhabarah dan muzara'ah dibagi antara pemilik tanah dan penggarapnya sesuai perjanian sewaktu aqad secara adil, maka yang demikian itu tidak termasuk yang dilarang oleh hadits.
Mukhabarah ialah suatu aqad yang terjadi antara pemilik tanah dan pengelola tanah untuk digarap dengan ketentuan bahwa benih yang akan ditanam adalah dari penggarap tanah tersebut.
Muzara'ah ialah suatu aqad yang terjadi antara pemilik tanah dan pengelola tanah untuk digarap dengan ketentuan bahwa benih yang akan ditanam adalah dari pemilik tanah tersebut.
Hukum keduanya oleh sebagian ulama diperbolehkan, dengan dasar hadits Rasulullah SAW berikut :
Dari Abu Umar, sesungguhnya Nabi SAW telah menyerahkan tanah kepada penduduk khaibar agar ditanami/dipelihara dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari hasil kebun tersebut, baik berupa buah-buahan mauoun hasil tanaman lainnya." (HR. Muslim).
Sebagian ulama yang lain melarang paroan sawah atau ladang ini dengan alasan sebagai berikut :
Dari Rafi' bin Khadij, ia berkata, di antara kaum Anshar yang paling banyak memiliki tanah adalah kami, maka kami sewakan sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian." (HR. Al-Bukhari).
Hadits yang melarang paroan sawah/ladang maksudnya jika ditentukan pernghasilan dan sebagian tanah mesti kepunyaan di antara pemilik tanah dan penggarapnya. Pada masa lampau paroan sawah/ladang ini sering terjadi adanya persyaratan di antara mereka mengambil sawah/ladang yang lebih subur. Hal semacam inilah yang dilarang oleh hadits, karena akan merugikan salah satu pihak.
Adapun pembagian hasil mukhabarah dan muzara'ah dibagi antara pemilik tanah dan penggarapnya sesuai perjanian sewaktu aqad secara adil, maka yang demikian itu tidak termasuk yang dilarang oleh hadits.